" Berani karena benar, Takut karena salah "

" Berani karena benar, Takut karena salah "

Rabu, 07 Juli 2010

Yuridis Pajak

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam berbagai literatur llmu Keuangan Negara dan Pengantar llmu Hukum Pajak terdapat pembedaan atau penggolongan pajak (classes of taxes, kind of taxes) serta jenis-jenis pajak. Pembedaan atau penggolongan tersebut didasarkan pada suatu kriteria, seperti siapa yang membayar pajak; siapa yang pada akhirnya memikul beban pajak; apakah beban pajak dapat dilimpahkan/dialihkan kepada pihak lain atau tidak; siapa yang memungut; serta sifat-sifat yang melekat pada pajak yang bersangkutan. Pada umumnya pajak digolongkan atas beberapa bagian seperti Pajak Langsung dan Pajak Tidak Langsung, penggolongan pajak pusat dan pajak daerah, menurut golongan pajak, pajak subjektif dan objektif serta menurut pajak pribadi atau menurut pajak kebendaan. OECD juga membuat penggolongan tersendiri atas kriteria tertentu.
Prinsip Pemungutan Pajak
Mengapa fiskus suatu negara berhak memungut pajak dari penduduknya?. Menurut teori asuransi, fiskus berhak memungut pajak dari penduduknya, karena negara dianggap identik dengan perusahaan asuransi, dan wajib pajak adalah tertanggung yang wajib membayar premi dalam hal ini pajak. Negara yang berhak memungut pajak itu, menurut penganut teori ini, melindungi segenap rakyatnya.Namun teori ini mempunyai kelemahan-kelemahan, antara lain dengan eksistensi imbalan yang akan diberikan negara jika tertanggung dalam hal ini wajib pajak menderita risiko. Sebab sebagaimana kenyataannya, negara tidak pernah memberi uang santunan kepada wajib pajak yang tertimpa musibah. Lagi pula kalau ada imbalan dalam pajak, maka hal itu sebenarnya bertentangan dengan unsur dalam definisi pajak itu sendiri. Para penganut teori ini mengatakan, bahwa negara berhak memungut pajak dari penduduknya, karena penduduk negara tersebut mempunyai kepentingan kepada negara. Makin besar kepentingan penduduk kepada negara, maka makin besar pula perlindungan negara kepadanya.
Sama dengan teori asuransi, teori ini mempunyai kelemahan antara lain tentang fungsi negara untuk melindungi segenap rakyatnya. Negara tidak boleh memilih-milih dalam melindungi penduduknya. Jika misalnya di suatu RT (Rukun Tetangga) terjadi kebakaran, apakah hanya mereka yang sudah bayar pajak yang dibantu dan diselamatkan oleh petugas mobil kebakaran? Di samping itu jika ditinjau dari unsur definisi pajak, maka adanya hubungan langsung atau kontraprestasi (dalam hal ini kepentingan wajib pajak) telah menggugurkan eksistensi pajak itu sendiri.
Adapun teori bakti dapat dikatakan sama dengan teori kedaulatan negara pada mata kuliah Pengantar llmu Hukum. Penduduk harus tunduk atau patuh kepada negara, karena negara sebagai suatu lembaga atau organisasi sudah eksis, sudah ada dalam kenyataan. Teori bakti mengajarkan, bahwa penduduk adalah bagian dari suatu negara; penduduk terikat pada keberadaan negara, karenanya penduduk wajib membayar pajak, wajib berbakti kepada negara. Penganut teori bakti menganjurkan untuk membayar pajak kepada negara dengan tidak bertanya-tanya lagi apa yang menjadi dasar bagi negara untuk memungut pajak. Karena organisasi atau lembaga yakni negara telah ada sebagai suatu kenyataan, maka penduduknya wajib secara mutlak membayar pajak, wajib berbakti kepada negara.
Selain itu ada pula yang disebut dengan teori daya pikul sebenarnya tidak memberikan jawaban atas justifikasi pemungutan pajak. Teori ini hanya mengusulkan supaya dalam memungut pajak pemerintah harus memperhatikan daya pikul dari wajib pajak. Jadi wajib pajak membayar pajak sesuai dengan daya pikulnya. Ajaran teori ini ternyata masih dapat bertahan sampai sekarang, yakni seorang wajib pajak tidak akan dikenakan pajak penghasilan atas seluruh penghasilan kotornya. Suatu jumlah yang dibutuhkan untuk mempertahankan hidupnya haruslah dikeluarkan terlebih dahulu sebelum dikenakan tarif pajak. Jumlah yang dikeluarkan tersebut disebut penghasilan tidak kena pajak, minimum kehidupan atau pendapatan bebas pajak minimum of subsistence.
BAB II
PEMABAHASAN
A. SISTEM PERPAJAKAN
Ludwig von Bertalanffy, seorang biopsikologi bangsa Jerman yang menulis General System Theory pada tahun 1950-an mengemukakan bahwa semua fenomena mempunyai hubungan seperti dalam ilmu alam: ada organ, sel dan mulekul. Suatu masyarakat terdiri dari suprasistem, sistem dan subsistem.
Sistem perpajakan dapat disebut sebagai metode atau cara bagaimana mengelola utang pajak yang terutang oleh Wajib Pajak dapat mengalir ke Kas Negara. Contoh: Ditinjau dari tingkatan negara, maka negara adalah suatu suprasistem, Keuangan Negara adalah sistem dan perpajakan adalah subsistem Ditinjau dari tingkatan perpajakan, maka perpajakan di Indonesia adalah suatu suprasistem, pajak penghasilan adalah sistem dan pajak penghasilan atas karyawan adalah subsistem. Dalam sistem perpajakan di Indonesia dikenal Self Asssessment System, Official Assessment System dan Withholding tax System.
Self Assessment System adalah suatu sistem perpajakan yang memberi kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk memenuhi dan melaksanakan sendiri kewajiban dan hak perpajakannya
Withholding tax system adalah suatu sistem perpajakan dimana pihak ketiga diberi kepercayaan (kewajiban), atau diberdayakan (empowerment) oleh undang-undang perpajakan untuk memotong pajak penghasilan sekian persen dari penghasilan yang dibayarkan kepada Wajib Pajak.
Official Assessment System adalah suatu sistem perpajakan dalam mana inisiatif untuk memenuhi kewajiban perpajakan berada di pihak fiskus.
B. TARIF PAJAK
Dalam berbagai literatur perpajakan dikenal lima macam tarif pajak yakni tarif tetap (fixed rate), tarif proporsional (proportional rate), tarif progresif (progressive rate), tarif regresif (regressive rate) dan tarif degresif (degressive rate).
Tarif tetap adalah tarif yang jumlah pajaknya dalam rupiah (atau dollar) bersifat tetap walaupun Objek Pajaknya jumlahnya berbeda-beda. Misalnya tarif Bea Meterai berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 1985. Jumlah Bea Meterai atas kuitansi atau tanda terima uang di atas Rp1.000.000,- adalah Rp6.000,- Walaupun uang yang diterima besarnya Rp100.000.000,- atau Rp10.000.000.000,- dan seterusnya, jumlah Bea Meterai yang terutang tetap Rp6.000,-
Sedangkan yang dimaksud dengan tarif proporsional adalah tarif yang prosentasenya tetap walaupun jumlah objek pajaknya berubah-ubah. Misalnya tarif PPN 10% atas Rp100.000,- 10% atas Rp50.000.000,- 10% atas Rp10.000.000.000,-
Tarif Pajak yang bersifat progresif adalah tarif pajak yang makin tinggi objek pajaknya, maka makin tinggi pula prosentase tarif pajaknya. Misalnya tarif Pajak Pendapatan tahun 1944, Tarif Pajak Penghasilan berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000.
Adapun tarif pajak regresif adalah tarif pajak yang makin tinggi objek pajak, maka makin rendah prosentase tarifnya. Sedangkan tarif Pajak Degresif adalah tarif pajak yang apabila objek pajaknya makin tinggi, maka makin rendah tarifnya. Tarif ini pernah berlaku untuk Bea Warisan. Makin tinggi warisan yang akan diterima oleh ahli waris, maka tarif bea atau pajak atas warisan makin kecil.
C. HUKUM PAJAK
Hukum pajak atau hukum fiskal ialah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui kas Negara, sehingga ia merupakan bagian dari hukum publik, yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara negara dan orang-orang atau badan-badan (hukum) yang berkewajiban membayar pajak.
Hukum Pajak dibedakan antara Hukum Pajak Materiil (Material tax law) dan hukum Pajak Formal (Formal tax law). Hukum Pajak Materiil adalah hukum pajak yang memuat ketentuan-ketentuan tentang siapa-siapa yang dikenakan pajak, dan siapa-siapa dikecualikan dari pengenaan pajak, apa saja yang dikenakan pajak dan berapa yang harus dibayar.
Hukum Pajak Formal adalah hukum pajak yang memuat ketentuan-ketentuan bagaimana mewujudkan hukum pajak materiil menjadi kenyataan. Secara mudah dapat dirumuskan bahwa hukum pajak materiil berisi ketentuan-ketentuan tentang siapa, apa dan berapa. Hukum Pajak Formal berisi ketentuan tentang bagaimana.
Hukum pajak formal merupakan ketentuan-ketentuan yang mengatur bagaimana mewujudkan hukum pajak materiil menjadi kenyataan. Misalnya hukum pajak materiil menetapkan, bahwa seseorang yang bertempat tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan, dan mempunyai penghasilan yang jumlahnya di atas PTKP, maka orang yang bersangkutan telah mempunyai kewajiban untuk membayar pajak dan statusnya telah menjadi Wajib Pajak.
D. SANKSI PAJAK
Sanksi administrasi menurut UU KUP dibagi atas 3 macam yaitu berupa denda, bunga dan kenaikan. Hukum Pidana Fiskal dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu
a) Peraturan Hukum Pidana mengenai Pajak Langsung dan Pajak Peredaran (PPe)/PPn;
b) . Peraturan Hukum Pidana mengenai Bea Cukai; dan
c) . Hukum Pidana Pemerintahan/Quasi/ Semu/Tidak Sebenarnya.
Sanksi administrasi berupa denda dikenakan terhadap pelanggaran peraturan yang bersifat hukum publik. Dalam hal ini, sanksi administrasi dikenakan terhadap pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang akibat pelanggarannya pada umumnya tidak merugikan negara.
Sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan dikenakan terhadap wajib pajak yang membetulkan SPT, dikenakan SKPKB (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar), tidak melunasi utang pajak pada saat jatuh tempo, terlambat membayar SKPKB dan SKPKBT, mengangsur atau menunda pembayaran pajak serta menunda penyampaian SPT.
Sedangkan sanksi administrasi berupa kenaikan (kenaikan pajak atau tambahan pajak) dikenakan terhadap pelanggaran ketentuan perundang-undangan perpajakan, yang akibat pelanggaran itu negara dirugikan. Menurut Undang-Undang KUP tahun 2000, kenaikan adalah sanksi administrasi yang menaikkan jumlah pajak yang harus dibayar wajib pajak dengan persentase antara 50-100% dari jumlah pajak yang tidak/kurang dibayar.
E. UTANG PAJAK
Menurut faham formal utang pajak timbul karena perbuatan fiskus, yakni fiskus menerbitkan SKP. Dalam contoh di atas, utang pajak si A baru akan timbul sesudah fiskus menerbitkan SKP. Secara ekstrim, si A tidak mempunyai kewajiban membayar pajak penghasilan/ pendapatannya jika fiskus belum menerbitkan SKP.
Menurut faham materiil utang pajak timbul karena terpenuhinya ketentuan-ketentuan yang disyaratkan dalam undang-undang. Terpenuhinya ketentuan dalam undang-undang tersebut disebut sebagai tatbestand. Misalnya syarat timbulnya utang pajak bagi si A dalam contoh di atas menurut UU PPh 2000 antara lain :
Jika si A telah bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan, dan si A telah mempunyai penghasilan setahun di atas PTKP, maka sudah timbul utang pajak bagi si A. Dia tidak perlu menunggu fiskus menerbitkan SKP. Timbulnya utang pajak menurut faham materiil secara sederhana dapat dikatakan karena Undang-Undang atau karena tatbestand, yaitu ‘rangkaian dari keadaan-keadaan, perbuatan-perbuatan dan peristiwa-peristiwa (baik yang feitelijk, yuridis, persoonlijk maupun zakelijk) yang dapat menimbulkan utang pajak’.
BAB III
KESIMPULAN
Hukum Pajak dibedakan antara Hukum Pajak Materiil (Material tax law) dan hukum Pajak Formal (Formal tax law). Hukum Pajak Materiil adalah hukum pajak yang memuat ketentuan-ketentuan tentang siapa-siapa yang dikenakan pajak, dan siapa-siapa dikecualikan dari pengenaan pajak, apa saja yang dikenakan pajak dan berapa yang harus dibayar.
Hukum Pajak Formal adalah hukum pajak yang memuat ketentuan-ketentuan bagaimana mewujudkan hukum pajak materiil menjadi kenyataan. Secara mudah dapat dirumuskan bahwa hukum pajak materiil berisi ketentuan-ketentuan tentang siapa, apa dan berapa. Hukum Pajak Formal berisi ketentuan tentang bagaimana.
Hukum pajak formal merupakan ketentuan-ketentuan yang mengatur bagaimana mewujudkan hukum pajak materiil menjadi kenyataan. Misalnya hukum pajak materiil menetapkan, bahwa seseorang yang bertempat tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan, dan mempunyai penghasilan yang jumlahnya di atas PTKP, maka orang yang bersangkutan telah mempunyai kewajiban untuk membayar pajak dan statusnya telah menjadi Wajib Pajak
Sanksi administrasi menurut UU KUP dibagi atas 3 macam yaitu berupa denda, bunga dan kenaikan. Hukum Pidana Fiskal dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu
d) Peraturan Hukum Pidana mengenai Pajak Langsung dan Pajak Peredaran (PPe)/PPn;
e) . Peraturan Hukum Pidana mengenai Bea Cukai; dan
f) . Hukum Pidana Pemerintahan/Quasi/ Semu/Tidak Sebenarnya.
Sanksi administrasi berupa denda dikenakan terhadap pelanggaran peraturan yang bersifat hukum publik. Dalam hal ini, sanksi administrasi dikenakan terhadap pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang akibat pelanggarannya pada umumnya tidak merugikan negara.
Sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan dikenakan terhadap wajib pajak yang membetulkan SPT, dikenakan SKPKB (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar), tidak melunasi utang pajak pada saat jatuh tempo, terlambat membayar SKPKB dan SKPKBT, mengangsur atau menunda pembayaran pajak serta menunda penyampaian SPT.
Sedangkan sanksi administrasi berupa kenaikan (kenaikan pajak atau tambahan pajak) dikenakan terhadap pelanggaran ketentuan perundang-undangan perpajakan, yang akibat pelanggaran itu negara dirugikan. Menurut Undang-Undang KUP tahun 2000, kenaikan adalah sanksi administrasi yang menaikkan jumlah pajak yang harus dibayar wajib pajak dengan persentase antara 50-100% dari jumlah pajak yang tidak/kurang dibayar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.