" Berani karena benar, Takut karena salah "

" Berani karena benar, Takut karena salah "

Hati - hati menggunakan Hukum Pidana

Dalam berbagai literatur pelajaran hukum pidana sering tertulis ungkapan klasik yang mengibaratkan hukum pidana sebagai “pedang bermata dua”, untuk menjelaskan bahwa hukum pidana di satu sisi  berfungsi melindungi manusia sebagai anggota masyarakat, namun di sisi lain dengan sanksinya yang berupa nestapa, berarti hukum pidana juga “melukai” kemanusiaan itu sendiri.
Dari berbagai media nampak bahwa kini ada kecenderungan menggunakan hukum pidana sebagai sarana untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang terjadi di Indonesia. Bila dikaitkan dengan pemahaman kejahatan sebagai “pelanggaran terhadap hukum negara”, maka fungsionalisasi hukum pidana melalui alat negara terhadap pelaku kriminal nampak sah-sah saja. Dalam hal ini hukum negara dipahami sebagai hukum yang dibentuk untuk melindungi masyarakat sehingga tercipta suasana tertib dan aman (dalam konteks hukum pidana: aman dari ancaman kejahatan) dalam rangka mencapai tujuan kesejahteraan sosial.
Persoalannya menjadi berbeda ketika dalam “hukum negara” terkandung berbagai kepentingan untuk melindungi kekuasaan, maka penerapan hukum pidana dengan dalih untuk menegakkan hukum negara sangat potensial menghasilkan putusan yang timpang, terutama bila hukum pidana dimanfaatkan oleh pihak yang kuat (the have) dalam kasus yang bersumber dari konflik antara “wong cilik” dengan pihak kekuasaan.
Konsep Berhukum yang Positivistik
Belum hilang dalam ingatan kita kasus Mbah Minah yang dipidanakan karena dilaporkan oleh Perusahaan Perkebunan dengan tuduhan mengambil tiga buah Kakao, kasus Lanjar yang diperkarakan dalam peradilan pidana karena dituduh mengakibatkan istrinya meninggal lantaran sepeda motornya menabrak mobil milik anggota kepolisian, kasus Prita yang diseret di meja hijau karena keluhannya dianggap pencemaran nama baik oleh RS Omni Internasional, kriminalisasi petani yang memperjuangkan tanah dari penyerobotan pemilik modal, dan akhir-akhir ini adalah kasus kriminalisasi yang dialami oleh Nenek Soetarti Soekarno (78th) dan Nenek Roesmini (77th) lantaran dianggap membangkang dari surat perintah pengosongan rumah oleh Perum Pegadaian. Dalam kasus-kasus tersebut hukum pidana lebih nampak sebagai alat untuk menumpas anggota masyarakat yang dipandang mengancam kepentingan kekuasaan dari pada sebagai sarana untuk melindungi kehidupan masyarakat. Untuk menghindari “kesesatan” dalam penerapan hukum pidana, maka perlu adanya perubahan paradigma dalam cara berhukum agar tidak terjebak dalam arus positivisme yang semakin tidak mampu dijadikan pijakan dalam mewujudkan keadilan yang substansial.
Dalam kasus terakhir sebagaimana yang dialami oleh kedua nenek malang tersebut, sikap dan cara pandang hukum yang bersifat legal-positivistik amat nampak pada diri Jaksa Ibnu Su’ud. Dalam berbagai media Jaksa Penuntut Umum bersikukuh untuk menuntut kedua nenek tersebut dengan dalih “untuk menegakkan hukum negara”. Hukum negara yang dimaksud adalah Pasal 167 ayat (1) KUHP dan Pasal 12 ayat (1) jo. Pasal 36 ayat (4) UU. No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman. Bila peristiwa yang dijadikan fakta hukum hanya dilokalisir pada fakta-fakta bahwa  kedua nenek tersebut setelah menerima surat perintah pengosongan ternyata tetap menolak untuk meninggalkan rumah milik perum pegadaian yang telah ditempatinya selama puluhan tahun, maka unsur perbuatan kedua nenek tersebut memang terdapat hubungan relevansi dengan unsur-unsur Pasal 167 KUHP dan Pasal 12 UU 4/1992, sehingga secara yuridis-pragmatis atau yuridis-tekstual nampak tidak ada persoalan dalam proses peradilan pidana. Bila dalam persidangan semua fakta hukum yang relevan dengan pasal yang didakwakan dapat dibuktikan maka penjatuhan sanksi pidana merupakan konsekuensi logis, tentu saja hanya bila mengacu pada logika hukum positif (baca: logika peraturan) yang lazim dalam praktek peradilan. Pertanyaan yang mendasar adalah apakah penyelesaian perkara dengan cara berhukum “kaca mata kuda” tersebut telah mencapai keadilan? Nanti dulu! Bila yang menjadi paradigma penalaran hukum adalah “hukum untuk hukum” maka penyelesaian yang telah sesuai dengan aturan hukum positif tersebut bisa dikatakan telah mencapai tujuan pragmatisnya yakni “keadilan formal”. Sedangkan untuk mencapai keadilan yang lebih bersifat substansial atau “keadilan sejati” bisa jadi masih jauh.
Perlu Perubahan Konsep Berhukum
Guna mengatasi persoalan tersebut maka konsep berhukum dalam pengaplikasian hukum pidana harus diubah. Salah satu paradigma yang bisa dijadikan landasan dalam rekonseptualisasi berhukum adalah Gagasan Hukum Progresif dari Prof. Satjipto Rahardjo. Kini gagasan hukum progresif mulai diterima oleh banyak kalangan yang mengalami kegelisahan terhadap fenomena kegagalan sistem hukum positif dalam mewujudkan keadilan. Asas besar hukum progresif yakni “hukum adalah untuk (kebahagiaan) manusia” memungkinkan terbangunnya cara berhukum yang kreatif, holistik dan bernurani.
Gagasan hukum progresif setidaknya mulai menjadi sumber inspirasi pengembangan hukum baik dikalangan praktisi maupun akademisi. Di Bidang Hukum Pidana konsep dasar hukum progresif nampak seirama dengan pemikiran Prof. Barda Nawawi Arief mengenai konsep hukum pidana yang berorientasi pada pendekatan “yuridis kontekstual integratif”. Dalam menerapkan hukum pidana tidak cukup dengan penguasaan aturan normatifnya semata, namun harus dilengkapi dengan penguasaan ilmu hukum secara utuh termasuk ilmu-ilmu pendukungnya.
Dalam penyelesaian kasus kriminalisasi janda pahlawan yang dialami oleh Soetarti dan Roesmini, penegak hukum utamanya hakim, tidak cukup hanya melihat fakta secara parsial terbatas pada fakta-fakta hukum yang terkait dengan unsur-unsur pasal-pasal KUHP dan UU 4/1992, namun juga harus mempertimbangkan secara utuh fakta sosialnya. Penolakan Soetarti dan Roesmini untuk meninggalkan rumah yang sedang disengketakan dengan Perum Pegadaian bukan didasari “niat jahat” untuk menguasai rumah tersebut secara melawan hukum. Berdasarkan latar belakang munculnya kasus tersebut nampak bahwa kedua janda pahlawan tersebut berniat untuk membeli rumah tersebut secara legal namun lama tidak direspon dan akhirnya ditolak oleh pihak Perum Pegadaian. Perkara gugatan PTUN atas surat penolakan tersebut masih dalam proses kasasi. Terlebih lagi terdapat fakta lain (yang dapat dijadikan preseden) yang mengungkap bahwa ada sekitar 17 penghuni rumah dinas Perum Pegadaian yang permohonan untuk membeli rumah yang ditempatinya dikabulkan oleh Perum Pegadaian.
Pertimbangan yuridis terhadap Pasal 167 KUHP dan Pasal 12 UU 4/1992 juga harus disertai penafsiran yang utuh. Pertama, keberadaan Pasal 167 KUHP harus dilihat pada konteks sejarah dan filosofinya. Pasal 167 KUHP diciptakan pada era Kolonial Belanda dimana spirit of rule berpijak pada paham liberalisme yang mengutamakan nilai-nila individualisme. Seyogyanya sebelum diterapkan harus dikaji terlebih dahulu apakah spirit yang terdapat dalam Pasal 167 KUHP sesuai dengan kondisi sosio kultural masyarakat Indonesia yang bersifat komunal dan sedang bergerak menuju sistem yang demokratis. Keberadaan Pasal 12 UU 4/1992-pun harus dilihat dari konteks filosofinya yakni terkait dengan perlindungan terhadap setiap warga negara Indonesia terhadap kebutuhan perumahan. Penerapan Pasal 12 jo Pasal 36 ayat (1) UU 4/1992 tidak boleh bertentangan dengan asasnya sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 UU Perumahan yang bunyinya: ”Penataan Perumahan dan Permukiman berlandaskan pada asas manfaat, adil dan merata, kebersamaan dan kekeluargaan, kepercayaan pada diri sendiri, kerterjangkauan dan kelestarian lingkungan hidup”.
Kedua, baik KUHP maupun UU 4/1992 tidak boleh dilihat sebagai aturan normatif yang berdiri sendiri, namun harus dilihat sebagai bagian dari sistem hukum yang utuh. Setidaknya pembahasan terhadap Pasal 167 KUHP dan Pasal 12 UU 4/1992 harus dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan lain yang terkait, setidaknya harus pula mempertimbangkan UU No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial dan PP No. 40 Tahun 1994 yang telah diubah dengan PP No. 31 Tahun 2005 tentang Rumah Negara. Kedua peraturan tersebut sebenarnya memiliki spirit bahwa negara memiliki kewajiban untuk memberikan kesejahteraan pada warga negara yang salah satunya adalah mengupayakan agar setiap warga negara terpenuhi hak dasarnya termasuk hak atas rumah tempat tinggal. Terhadap kasus Soetarti dan Roesmini, maka sebagai bagian dari kewajiban negara mewujudkan kesejahteraan warga negaranya, seharusnya negara melindungi hak kedua janda pahlawan untuk tetap menempati rumah dinas almarhum suaminya dengan cara membeli secara wajar (bukannya justru mengancam dengan memidanakannya).
Karena kasus Soetarti dan Roesmini telah terlanjur diajukan dalam persidangan pidana, maka seyogyanya hakim mempertimbangkan putusannya dengan berpijak pada penalaran hukum yang utuh dan progresif yang dapat disederhanakan dengan ragaan sebagai berikut:
diagram-perkarapidana-jandapahlawan
Inti pesan yang hendak disampaikan dalam kajian di atas adalah bahwa penggunaan hukum pidana harus berhati-hati karena bisa ”melukai” kemanusiaan. Hukum pidana seyogyanya dipergunakan dan difungsionalisasikan untuk persoalan yang tepat dan dengan cara yang tepat pula. Terlebih lagi dalam sistem hukum pada era transformasi global yang dipengaruhi oleh paham neoliberalisme dan kapitalisme modern telah menyeret hukum negara berkembang yang cenderung berpihak pada pihak yang kuat.
Dalam keadaan anomali dan hukum negara yang timpang tersebut maka pemaksaan penyelesaian masalah dengan hukum pidana atas dalih ”menegakkan hukum” justru akan semakin menghasilkan putusan yang jauh dari rasa keadilan. Hukum pidana tak ubahnya menjadi sarana untuk menindas pihak yang lemah demi memberikan perlindungan pada  kepentingan pihak yang kuat. Jika demikian maka hukum pidana akan berubah menjadi sebilah ”pisau” yang tajam di bagian bawah namun tumpul pada bagian atasnya. " RZ "