I. PENDAHULUAN
Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 (KUHAP) memberikan peran utama kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk melaksanakan tugas penyelidikan dan penyidikan tindak pidana (secara umum) tanpa batasan lingkungan kuasa soal-soal sepanjang masih termasuk dalam lingkup hukum publik, sehingga pada dasarnya Polri oleh KUHAP diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana. Namun demikian, KUHAP masih memberikan kewenangan kepada ”pejabat pegawai negeri sipil tertentu” untuk melakukan penyidikan sesuai dengan wewenang khusus yang diberikan oleh undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing. Dalam ketentuan peralihan KUHAP Pasal 284 ayat (2) dijelaskan bahwa ”dalam waktu dua tahun setelah diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi”. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ”ketentuan khusus acara pidana tersebut, antara lain : Undang-Undang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi (UU Drt No 7 Tahun 1955) dan Undang- Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No 3 Tahun 1971), dengan catatan bahwa semua ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu akan ditinjau kembali, diubah atau dicabut dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Dalam kenyataannya berdasarkan fakta sejarah terlihat bahwa bangsa ini tidak konsisten dengan pernyataan yang terdapat dalam aturan peralihan KUHAP tersebut. Hal ini terbukti dengan terbitnya beberapa undang-undang baru yang secara eksplisit sepertinya dapat dikatakan ”mengebiri” kewenangan Polri dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sebagaimana diamanatkan oleh KUHAP. Beberapa undang-undang seperti undang-undang kepabeanan, undang-undang perikanan, dan lain sebagainya yang memberikan kewenangan kepada penyidik pegawai negeri sipil sekaligus ”membatasi” Polri dalam melakukan penyidikan suatu tindak pidana tertentu. Perkembangan lebih lanjut apabila mencermati draft RUU tentang HAP yang disusun oleh Kelompok Kerja (Pokja) Nasional RUU tentang HAP yang diketuai oleh Prof. Dr. ANDI HAMZAH, S.H, peran Penyidik Polri sebagai Korwas PPNS malah cenderung ditiadakan. Sudah terdapat wacana yang menyebutkan agar PPNS bisa langsung menyerahkan ke penuntut umum tanpa melalui Polisi dengan alasan mempersingkat waktu. Draft RUU tentang HAP yang disusun oleh Pokja Nasional jika diterapkan, akan menghadapi banyak kendala dalam penerapannya sehingga justru akan menghambat pelaksanaan Hukum Acara Pidana yang sejauh ini sudah semakin mapan dan cukup representatif dalam upaya perlindungan HAM. Peran Penyidik Polri sebagai Korwas PPNS hendaknya tetap diefektifkan, mengingat bahwa hakikat Korwas PPNS bukan berarti Polri selalu super di atas PPNS, melainkan demi sinergi antara Polri yang memiliki kemampuan penyidik umum ( kesiapan personel di seluruh Indonesia, dengan fasilitas, sarana penyedilikan, dan mobilitas yang lebih lengkap) dengan PPNS yang memiliki kemampuan teknis di bidang khusus.
Penulis mencoba membahas fenomena ini dengan menghubungkan (dan menjadikan sebagai fokus pembahasan) dengan pelaksanaan tugas Polri dalam mengkoordinasikan, mengawasi, dan memberikan pembinaan tehnis kepada PPNS. Sejauhmana pelaksanaan tugas koordinasi, pengawasan, dan pembinaan terhadap PPNS telah dilakukan oleh Polri ?
II. PEMBAHASAN
Koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap Polsus, PPNS, dan Pam Swakarsa merupakan salah satu tugas Polri yang secara tersurat dicantumkan dalam Undang-undang Kepolisian Negara Republik Indonesia No 2 Tahun 2002 Pasal 14 ayat (1) huruf f. Untuk mengetahui lebih mendalam mengenai tugas Polri tersebut penulis mencoba menjabarkan arti kata secara harfiah seperti yang terdapat dalam Kamus Bahasa Indonesia. Koordinasi diartikan dengan ” perihal mengatur suatu organisasi dan cabang-cabangnya sehingga peraturan-peraturan dan tindakan-tindakan yang akan dilaksanakan tidak saling bertentangan”. Pengawasan dalam kamus Bahasa Indonesia berarti ”penilikan dan penjagaan serta pengarahan jalannya kebijakan”. Sedangkan pembinaan artinya ”proses, cara membangun, mendirikan, mengusahakan agar lebih baik dan lebih maju atau sempurna”. Dari beberapa pengertian tersebut judul makalah ini dapat disederhanakan dengan ”tugas Polri dalam melaksanakan penilikan, penjagaan, pengaturan dan cara mengusahakan Polsus, PPNS, dan Pam Swakarsa menjadi lebih baik dan lebih maju atau sempurna”.
Menurut Kadiv Binkum Polri, Irjen Pol. Dr. Teguh Soedarsono, Korwas itu adalah koordinasi dan pengawasan. Koordinasi itu diartikan suatu hubungan kerjasama. Khususnya dalam bekerjasama tugas-tugas penyidikan antara Penyidik Polri dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Dalam hal bidang tertentu dan dalam rangka meningkatkan kemampuan itu sendiri. Sementara pengawasan itu sendiri diartikan sebagai pengamatan atau pembinaan agar pelaksanaan penyidikan dalam proses hukum itu tidak menyalahi ketentuan undang undang. Pembinaan atau bantuan yang diberikan Polri kepada PPNS itu diminta atau tidak diminta Polri wajib untuk melakukan itu. Karena menurut KUHAP sendiri bahwa penyidik itu adalah Polri. Lebih lanjut ditambahkan Momo Kelana, keberadaan PPNS itu erat kaitannya dengan perkembangan organ dan fungsi kepolisian dalam masyarakat. Jadi semula sebelum terbentuk negara, fungsi kepolisian diemban oleh setiap warga negara. Saat ini fungsi kepolisian hanya merupakan salah satu bagian dari fungsi pemerintahan negara. Keberadaan PPNS ini sebetulnya merupakan satu fenomena dari perkembangan fungsi kepolisian secara keseluruhan. Oleh karena itu keberadaan PPNS ini juga harus dilihat dalam keseluruhan fungsi kepolisian secara seutuhnya. Kepolisian didalam KUHAP disebutkan sebagai koordinasi dan pengawas. Tapi bukan kepada instansinya, namun kepada kegiatan penyidikannya. PPNS itu sebagai bentuk partisipasi masyarakat yang bisa memberdayakan masyarakat dalam membangun kemitraan dengan Polri. Lebih lanjut menurut Momo, saat ini koordinasi dan pengawasan Polri dengan PPNS sudah berjalan dengan baik, namun apa yang sudah berjalan ini masih bisa ditingkatkan efisiensinya. Jadi masalah-masalah didalam pengembangan koordinasi dan pengawasan ini timbul. Tidak saja di kalangan PPNS-nya, tapi juga di kalangan Polri.
Pasal 3 Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa pengemban fungsi kepolisian adalah Polri yang dibantu oleh kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa. Polsus, PPNS dan Pam Swakarsa dalam melaksanakan fungsi kepolisian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya masing-masing. Pengemban fungsi kepolisian ditemukan melalui penguraian dimensi fungsi kepolisian yang terdiri dari dimensi yuridik dan dimensi sosiologik. Dalam dimensi yuridik, fungsi kepolisian terdiri atas Fungsi Kepolisian Umum dan Fungsi Kepolisian Khusus. Fungsi Kepolisian Umum, berkaitan dengan kewenangan kepolisian yang berdasarkan undang-undang dan atau peraturan perundang-undangan meliputi semua lingkungan kuasa hukum (lingkungan kuasa soal-soal; lingkungan kuasa orang; lingkungan kuasa tempat; dan lingkungan kuasa waktu). Pengemban fungsi kepolisian umum sesuai UU No 2 tahun 2002 adalah Polri, sehingga tugas dan wewenangnya dengan sendirinya akan mencakup keempat lingkungan kuasa soal tersebut di atas. Fungsi Kepolisian Khusus, berkaitan dengan kewenangan kepolisian yang oleh atau atas kuasa undang-undang secara khusus ditentukan untuk satu lingkungan kuasa. Badan-badan pemerintahan yang oleh atau atas kuasa undang-undang diberi wewenang untuk melaksanakan fungsi kepolisian khusus dibidangnya masing-masing dinamakan alat-alat kepolisian khusus. Kepolisian khusus sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya, berada dalam lingkungan instansi tertentu seperti antara lain : Bea Cukai, Imigrasi, Kehutanan, Pengawasan Obat dan Makanan, Patent dan Hak Cipta. Diantara pejabat pengemban Fungsi Kepolisian Khusus, ada yang diberi kewenangan represif yustisial selaku penyidik dan disebut ”penyidik pegawai negeri sipil” (PPNS).
Penyidik Polri sebagai koordinasi dan pengawasan (Korwas) PPNS mempunyai kewajiban dan tanggung jawab memberikan batuan penyidikan yang didasarkan pada sendi-sendi hubungan fungsional. Korwas PPNS tersebut perlu dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas PPNS agar pelaksanaan penyidikan yang dilakukan oleh PPNS terhadap tindak pidana tertentu yang menjadi dasar hukumnya dapat berjalan sesuai ketentuan yang berlaku. Pada dasarnya pelaksanaan tugas koordinasi, pengawasan dan bantuan teknis kepada PPNS dapat dilaksanakan dalam tiga bentuk kegiatan yaitu :
1. Hubungan tata cara kerja agar terjalin kerjasama yang serasi
2. Pembinaan teknis, dan
3. Bantuan operasional penyidikan.
Hubungan tata cara pelaksanaan kooordinasi dan pengawasan terhadap PPNS dilakukan dalam dua bidang yaitu bidang pembinaan dan bidang operasional. Di bidang pembinaan, hubungan kerja secara fungsional dalam rangka pelaksanaan koordinasi, pengawasan dan pembinaan dilaksanakan langsung oleh satuan reserse. Hubungan kerja ini dilaksanakan secara horisontal fungsional dengan tidak menutup kemungkinan hubungan yang bersifat diagonal antara Polri (satuan reserse mulai dari Mabes Polri sampai dengan Polres) dan unsur PPNS. Pembinaan ini dapat dilakukan melalui kegiatan pendidikan terhadap unsur PPNS. Di bidang operasional, pada hakekatnya koordinasi dilaksanakan secara timbal balik antara PPNS dengan penyidik Polri. Secara kronologis mekanisme koordinasi tersebut adalah sebagai berikut :
1. Dalam hal PPNS melaksanakan penyidikan tindak pidana tertentu yang termasuk lingkup bidang tugasnya, maka PPNS menerima laporan/ pengaduan wajib memberitahukan hal itu kepada Penyidik Polri (Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) untuk kemudian diteruskan kepada Penuntut Umum.
2. Penyidik Polri memberikan petunjuk-petunjuk baik diminta atau tidak diminta berdasarkan tanggung jawabnya dan wajib memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan
3. Petunjuk yang diberikan meliputi Petunjuk Teknis, Taktis dan Yuridis. Sedangkan bantuan penyidikan meliputi bantuan tehnis, bantuan taktis dalam upaya paksa/ penindakan apabila wewenangnya tidak dimiliki PPNS.
4. Dalam hal penyidikan yang dilakukan oleh PPNS ditemukan bukti yang kuat untuk diajukan ke Penuntut Umum, maka PPNS wajib melapor hal itu kepada Penyidik Polri tentang perkembangan penyidikannya.
5. Dalam hal PPNS memerlukan bantuan untuk melakukan upaya paksa/penindakan yang wewenangnya tidak dimiliki oleh PPNS yang bersangkutan, maka untuk tindakan tersebut dimintakan bantuan kepada Penyidik Polri.
6. Permintaan bantuan upaya paksa harus disertai laporan perkembangan penyidikan dan alasan/ pertimbangan serta keadaan untuk menentukan perlunya dilakukan upaya paksa.
7. Atas permintaan tersebut, Penyidik Polri dapat mengabulkan atau menolaknya dan kemudian memberitahukan keputusan tersebut kepada PPNS disertai pertimbangan serta alasan-alasannya.
8. Dalam hal permintaan dikabulkan dan penindakan telah dilaksanakan, maka tanggung jawab yuridis yang mungkin timbul sebagai akibat penindakan tersebut menjadi tanggung jawab bersama.
Pembinaan tehnis terhadap PPNS dapat dilakukan melalui beberapa cara seperti : pembentukan PPNS, pembinaan kemampuan PPNS, dan pembinaan sistem laporan. Sebagai pembina tehnis PPNS, Penyidik Polri memberikan saran-saran tentang urgensi kebutuhan dan keberadaan PPNS dari sesuatu departemen/ instansi serta mengajukan saran tentang rencana formasi organik PPNS. Untuk mewujudkan rencana tersebut, maka departemen / instansi yang bersangkutan mengusulkan pengangkatan PPNS kepada Menteri Kehakiman dengan tembusan kepada Kapolri dan Jaksa Agung. Atas usulan pengangkatan PPNS tersebut Polri memberikan pertimbangan. Masalah pembinaan kemampuan PPNS merupakan tanggung jawab Penyidik Polri. Hal ini disebabkan karena komponen penyidikan dalam sistem peradilan pidana sepenuhnya dipertanggungjawabkan kepada Polri. Kegiatan pembinaan tehnis ini dapat dilakukan melalui pendidikan di bidang penyidikan, latihan-latihan penyegaran bagi PPNS yang telah mengikuti pendidikan, melaksanakan coaching clinic, melayani permintaan tenaga pengajar / ceramah, penataran, rapat koordinasi secara berkala antara Penyidik Polri dan PPNS, mempersiapkan piranti lunak perundang-undangan yang dibutuhkan PPNS, dan lain-lain. Dalam pembinaan sistem laporan, PPNS wajib melaporkan data perkara pidana yang ditanganinya kepada Penyidik Polri secara berkala. Penyidik Polri melaksanakan sistem pengumpulan, pengolahan, dan penyajian data perkara-perkara yang ditangani PPNS serta membuat analisa dan evaluasi untuk kepentingan kebijaksanaan pembinaan PPNS.
Bantuan operasional penyidikan terhadap PPNS wajib diberikan oleh Penyidik Polri terhadap PPNS baik diminta atau tidak diminta dalam rangka korrdinasi dan pengawasan PPNS dari sejak awal penyidikan sampai dengan akhir penyidikan. Bantuan tersebut dapat diberikan dalam tiga tahap proses penyidikan yaitu sebagai berikut :
1. Pada tahap awal penyidikan
Pada tahap ini Penyidik Polri melakukan penelitian dan memberikan petunjuk yuridis kepada PPNS untuk menentukan apakah kasus yang akan ditangani merupakan suatu tindak pidana atau bukan, menentukan cara bertindak yang tepat dalam rangka proses penyidikan, melakukan koordinasi dan penelitian terhadap kelengkapan administrasi penyidikan, dan memberikan bantuan upaya paksa apabila diperlukan oleh PPNS yang bersangkutan.
2. Pada tahap pelaksanaan penyidikan
Pada tahap ini Penyidik Polri mengikuti dan mengarahkan perkembangan hasil penyidikan yang dilakukan oleh PPNS yang bersangkutan. Penyidik Polri juga dapat membantu pelaksanaan upaya paksa di mana PPNS yang bersangkutan tidak mempunyai wewenang untuk itu. Apabila ada gelar perkara Penyidik Polri mengikutiny untuk mencari upaya pemecahan masalah terhadap kendala-kendala yang dihadapi PPNS selama proses penyidikan.
3. Pada tahap akhir penyidikan
Pada tahap ini Penyidik Polri dapat mengadakan penelitian dan memberikan petunjuk serta arahan yuridis terhadap berkas perkara yang dibuat oleh PPNS dan membantu menyerahkan berkas perkara tersebut ke Penuntut Umum.
Penjelasan tersebut di atas adalah hal yang seharusnya atau semestinya ada, tetapi bagaimanakah pelaksanaannya? Secara struktural melalui struktur organisasi formal, Korwas PPNS ini memang telah ditetapkan menjadi sebuah bagian/urusan dalam struktur organisasi Polri mulai dari tingkat pusat (Mabes Polri) sampai tingkat daerah (Polres). Namun dalam pelaksanaannya berdasarkan pengamatan dan pengalaman penulis selama menjadi Polisi, tugas korwas PPNS ini terkesan dianaktirikan dan bahkan dikesampingkan. Ada kesan yang timbul bahwa tugas ini merupakan tugas yang tidak begitu populer di kalangan Polri sendiri. Hal ini terkait dengan pemahaman dan penalaran yang sempit dari kalangan Polri sendiri tentang tugas korwas PPNS ”yang kurang menjanjikan”. Kondisi ini apabila dilihat dalam jangka panjang akan sangat riskan terhadap posisi Polri sebagai korwas PPNS. Perkembangan terakhir dalam draft RUU KUHAP sudah mulai terlihat upaya untuk menghapuskan tugas korwas PPNS ini. Hendaknya fenomena ini dapat dijadikan Polri sebagai bahan intropeksi diri khususnya dalam pelaksanaan tugas koordinasi dan pengawasan, serta pemberian bimbingan tehnis terhadap PPNS. Di level Polda berdasarkan pengamatan penulis tugas korwas ini hanya diemban oleh sebuah Seksi (Seksi Korwas PPNS), bahkan di level Polres urusan korwas ini diserahkan kepada salah satu Kepala Unit di Satuan Reskrim dengan jabatan rangkap. Sehingga sudah barang tentu fokus dan keseriusan penanganan tugas ini kurang optimal. Petugas yang diserahi tanggung jawab korwas sekalipun jarang atau bahkan tidak mengetahui dan kurang memonitor pelaksanaan penyidikan yang dilakukan oleh PPNS dari berbagai instansi. Belum lagi kalau ditinjau dari sisi data yang dimiliki, akan terlihat bahwa betapa tidak seriusnya Polri dalam melaksanakan tugasnya sebagai Korwas dan pembina tehnis PPNS.
Apabila kondisi ini dibiarkan terus berjalan, maka akan semakin banyak kewenangan Polri yang ”dikebiri” dalam penyidikan tindak pidana. Akan semakin banyak instansi-instansi yang berusaha menuntut kewenangan melakukan tindak pidana tanpa campur tangan Polri. Hal ini penulis kemukakan bukan berarti dalam usaha perebutan kewenangan yang terkadang dikonotasikan pada perebutan ”rezeki”, tetapi apakah Polri ingin menjadi sebuah institusi yang hanya diberikan kewenangan untuk menangani kejahatan jalanan?
III. KESIMPULAN
Sesuai amanat KUHAP, Penyidik Polri sebagai koordinasi dan pengawasan (Korwas) PPNS mempunyai kewajiban dan tanggung jawab memberikan batuan penyidikan dalam rangka meningkatkan kualitas PPNS agar pelaksanaan penyidikan dapat berjalan sesuai ketentuan yang berlaku. Pelaksanaan tugas koordinasi, pengawasan dan bantuan teknis kepada PPNS dapat dilaksanakan dalam tiga bentuk kegiatan yaitu hubungan tata cara kerja, pembinaan teknis, dan bantuan operasional penyidikan. Hubungan tata cara pelaksanaan kooordinasi dan pengawasan terhadap PPNS dilakukan dalam dua bidang yaitu bidang pembinaan dan bidang operasional. Pembinaan tehnis terhadap PPNS dapat dilakukan melalui beberapa cara seperti : pembentukan PPNS, pembinaan kemampuan PPNS, dan pembinaan sistem laporan. Bantuan operasional penyidikan terhadap PPNS wajib diberikan oleh Penyidik Polri terhadap PPNS baik diminta atau tidak diminta dalam rangka koordinasi dan pengawasan PPNS dari sejak awal penyidikan sampai dengan akhir penyidikan.
Pelaksanaan korwas PPNS ini dirasakan masih belum optimal, hal ini dikarenakan kekurangseriusan Polri di mana ada anggapan bahwa bidang tugas korwas PPNS tidak begitu populer di kalangan Polri. Kondisi seperti ini, apabila dibiarkan terus berlanjut akan menimbulkan pertanyaan tentang penting atau tidaknya eksistensi Polri dalam koordinasi dan pengawasan terhadap PPNS di masa mendatang. Sistem informasi antar instansi dan pelaporan pelaksanaan penyidikan oleh PPNS kepada penyidik Polri juga dirasakan masih belum maksimal.
IV. SARAN
Perlu perubahan pemikiran dan pemahaman di kalangan Polri tentang pentingnya pelaksanaan tugas korwas PPNS. Hal ini dikarenakan memang KUHAP sudah menggariskan demikian adanya. Polri baik diminta atau tidak diminta secara proaktif harus memberikan bantuan operasional penyidikan terhadap PPNS mulai dari tahap awal sampai dengan tahap akhir penyidikan. Forum rapat koordinasi, pertemuan dan silaturahmi, nota kesepahaman antara PPNS dan Penyidik Polri untuk menghilangkan kebekuan dan menciptakan komunikasi yang baik dalam rangka korwas ini hendaknya dibuat secara berkala dan kontiniu. Polri selaku fasilitator dan koordinator pengawasan (Korwas) PPNS secara proaktif wajib menjalin mitra kerja untuk berkoordinasi dan membuat forum-forum komunikasi lintas sektoral baik antar departemen, kantor, dinas, badan yang ada di wilayahnya.